merangkak di kanal cahaya

dunia dalam tatanan bit and byte perlahan menyeruak ke kehidupan nyata manusia. perlahan kesadaran kita dipecah dan dicacah.

pertanyaan mengenai mana yang nyata, mana yang maya sudah sewajarnya tak diacuhkan. karena kita sudah semakin sulit membedakan mana yang biner dan mana yang abu-abu.

secarik kertas kini semakin sulit untuk bicara banyak. pilihan selalu hadir dan tak terhindarkan, berada di region yang terasa sama-sama artifisial.

lalu mana yang esensial? kita semakin buta prioritas. lifestyle dan tatanan sosial melaju bersama kehidupan di dunia digital. semua tidak menyisakan ruang untuk merenungkan seberapa besar kita dibuat delusi—delusi kebijaksanaan.

kini kita mengurai sinyal melalui panca indra. dimana bias-bias numerik mempengaruhi cara kita mengecap hidup.

data bergerak indah, melenggok di kanal cahaya.
kita masih merangkak lupa budaya.

 

Hujan Datang Sebagai Bahasa

Untuk perempuan yang menggunakan hujan sebagai bahasa. Beritahu aku, Kemana kau larutkan lara?

Kulihat hujan seakan bicara kepadamu melalui teduh yang ia bawa. kau tatap ia melalui tepi-tepi jendela, dibalik teralis dan kelambu. Lama kelamaan, Kau yang memang tak pernah ragu, dibuatnya larut dalam candu.

Dari caramu membisikan hujan, aku tau kau berujar untuk tak didengar. Kau rayakan cinta dan cerita kala hujan berbicara. Dan kau dibuat girang karenanya.

Tetapi selayaknya cinta. Ia tak perlu datang tiap saat untuk dihargai. Ia kan pergi dan kembali. Kadang dapat di prediksi, kadang tak peduli. dan juga lara tak perlu dihapus tiap kali ia mengental. nestapa tak perlu dientas kan oleh awan gelap.

Mari menunggu terang. Agar hujan kan selalu bisa dinikmati. Dan aku dapat mengertimu dalam bahasamu

Lotus Flower

Malam hari menjadi begitu basah dan lembap. Hujan tak henti-hentinya menggedor langit-langit pikiran manusia di selatan jakarta malam ini. Di mobil, pikiranku mengambang—lupa daratan. Kuhirup sebatang lain dari dji sam soe yang baru aku beli tadi sore.

Uap…

Uap…

Kemudian titik-titik embun dari berbagai sumber bercampur di spion mobilku. Aku sesekali tersengal karena lupa bernafas normal. Selalu begitu, aku tak akan heran bila suatu saat akan mati tercekik asap dji sam soe.

“hey, what are you gonna do if you were me, Luna?” tanyaku kepada langit.

Sang Luna memang tak menampakan diri akhir-akhir ini. Bukan karena keras hati, atau tak ingin bertemu. Hanya awan tebal dan angin basah musim hujan menghambat jumpa kita.

Antrian depan gerbang tol belum bergerak sama sekali. Oh dear south Jakarta, Mau nunggu aku tersengal berapa kali agar aku sampai ke tujuan?

Manusia-manusia berhamburan keluar dari mobilnya. Beberapa menyalakan rokok. Beberapa orang—yang bukan keluar dari mobil—menjajakan kopi untuk teman merokok.

Aku?

Aku enggan bergerak dari posisiku. Itu menghambat operasiku. Operasi mengembalikan ingatan. Dan getar abu-abu di kepalaku telah mencapai puncaknya. Aku sedang mengembalikan yang sudah tak ada.

Kenapa harus diingat? Mengapa ingatan harus kembali? Hey kenapa banyak bertanya?

Aku justru heran kepada orang yang selalu sengaja ingin terlupa. Karena Lupa tak pernah menyembuhkan luka. Dan mengingat, bahkan menelaah bukan berarti mengorek-ngorek bekas luka. It just part of ourself, nevertheless.

Ampas dari ingatan yang telah terproses ikut larut dengan air hujan yang mengalir melalui sela-sela roda kendaraan. Menguap dan kemudian terhirup bersama asap rokok dan asap buangan kendaraan.

Kulihat dirinya dari bayang-bayang yang dihasilkan cahaya lampu jalan. dan bayangan diriku di arah sebaliknya. Kau dan aku bersama. Pernah sama.

Puntung-puntung rokok yang tak habis berserakan diantara pedal mobilku. di bungkusan rokokku, terisa tiga batang lagi. Ku hampir nyalakan batang selanjutnya, tapi kudengar Beberapa klakson memaki-maki dari arah belakang. Aku tak sadar, antrian didepan sudah habis seluruhnya.

 

setengah mimpi, setengah dirimu

aku berada di setengah mimpi,

bertemu setengah dirimu.

apakah dirimu, setengah yang lain

terpanggil olehku?

 

setengah aku datang,

sekonyong-konyong, terengah-engah

menyodorkan kilat abu-abu

 

aku tak bisa bereaksi,

karena dirimu, setengah yang datang

tak mendengar pekikan petir abu-abu.

 

setengah dirimu bergumam,

kakiku tersaungkut di sela lamunan,

aku menertawai sekumpulan debu yang kita acuhkan.

 

 

Interferensi

Sore itu jalan kolonel masturi dibasahi Hujan yang tidak terlalu deras, tapi bukan gerimis. Kumandang adzan bersaut-sautan,padahal jarak antar masjid hanya berbeda beberapa rumah, mereka seakan berlomba untuk jadi yang paling didengar seantero desa. Suara adzan, suara knalpot motor, suara klakson mobil, suara tukang putu. Semua berinterferensi di pikiran Venka.

Berinterferensi, itu adalah istilah milik Venka, Yang muncul dan terucap olehnya ketika ia mengamati langit tak berlembayung di ujung horizon.

Apa yang berinterferensi? Semuanya. Continue reading Interferensi

Bara Dalam Sekam

Kami adalah bara dalam sekam.

Api yang jadi bahasamu adalah apiku juga.

 

Hengkanglah semua yang terbilang.

Manusia yang tak bisa menjadi hakim untuk dirinya sendiri

Lebih baik enyah tak bersuara!

 

Aku adalah adik, kakak, dan orang tuaku,

Juga kawan, tuan, serta guruku.

Kami tak akan terpecah oleh suaramu!

 

karena keadilan sejatinya selalu buta.

Kamipun akan menutup mata ragawi.

Tataplah kami melalui nurani!

 

keadilan bukan hanya tentang menyalakan api

Tapi siapa yang berani membakar kebatilan dengannya

Kami adalah bara dalam sekam.

Apimu tangguh, tapi kami kan berdiri dihadapanmu.

Rongga Ingatan

Kaki-kaki langkah. Jengkal-jengkal jemari

Diseret pergi oleh rongga besi terangkai

yang membentang dari ujung ke ujung.

Dari rumah hingga ke tujuan.

 

kereta membawamu pergi. Bersama

ingatan tentang ibu kota. Tak butuh

banyak waktu untuk membuatmu terlupa

 

kemanakah ingatanmu diseret pergi?

dimanakah ku bisa menjemputnya kembali?

Dan kamu. Siapakah kamu tanpa ingatanmu?

 

tak terhitung jumlah pertanyaan yang hadir. Ketika

aku menunggu kereta selanjutnya

di peron yang sama.

Crescendo

sepasang mata itu menatapku yang membatu. ia tau sedari tadi aku memperhatikan lambai tangan dan kerlip gaunnya yang abu-abu.

tanganmu yang sesaat lalu melambai. kini menggenggam tanganku yang sedari tadi mati rasa.

“i love you for sentimental reasons” ungkapmu.

Dan kau tambahkan senyum tipis menawan diujung rayuanmu. Senyummu tetap tipis dan teduh, menyungging ruang mimpi dengan warna-warna yang tak terdeskripsi.

“i hope you do believe me, i’ve given you my heart” ucapmu pelan di telingaku.

tubuhmu kini ada di dekapanku. tapi, entah kenapa pelukmu malam itu terasa dingin.

Dan kemudian kau mengembangkan senyum getir yang amat berbeda dengan senyum-senyum lain yang biasa memukauku.

…..

di dekapanku, kau menyala.

dirimu terbakar oleh sendu

dan tiada bahasa yang dapat mengartikan

tapi sunyi yang dicipta olehmu berderu tanpa henti

ada pacu liar dari jantung hatiku.

kau hanya menyisakan abu yang sedingin salju.