Lotus Flower

Malam hari menjadi begitu basah dan lembap. Hujan tak henti-hentinya menggedor langit-langit pikiran manusia di selatan jakarta malam ini. Di mobil, pikiranku mengambang—lupa daratan. Kuhirup sebatang lain dari dji sam soe yang baru aku beli tadi sore.

Uap…

Uap…

Kemudian titik-titik embun dari berbagai sumber bercampur di spion mobilku. Aku sesekali tersengal karena lupa bernafas normal. Selalu begitu, aku tak akan heran bila suatu saat akan mati tercekik asap dji sam soe.

“hey, what are you gonna do if you were me, Luna?” tanyaku kepada langit.

Sang Luna memang tak menampakan diri akhir-akhir ini. Bukan karena keras hati, atau tak ingin bertemu. Hanya awan tebal dan angin basah musim hujan menghambat jumpa kita.

Antrian depan gerbang tol belum bergerak sama sekali. Oh dear south Jakarta, Mau nunggu aku tersengal berapa kali agar aku sampai ke tujuan?

Manusia-manusia berhamburan keluar dari mobilnya. Beberapa menyalakan rokok. Beberapa orang—yang bukan keluar dari mobil—menjajakan kopi untuk teman merokok.

Aku?

Aku enggan bergerak dari posisiku. Itu menghambat operasiku. Operasi mengembalikan ingatan. Dan getar abu-abu di kepalaku telah mencapai puncaknya. Aku sedang mengembalikan yang sudah tak ada.

Kenapa harus diingat? Mengapa ingatan harus kembali? Hey kenapa banyak bertanya?

Aku justru heran kepada orang yang selalu sengaja ingin terlupa. Karena Lupa tak pernah menyembuhkan luka. Dan mengingat, bahkan menelaah bukan berarti mengorek-ngorek bekas luka. It just part of ourself, nevertheless.

Ampas dari ingatan yang telah terproses ikut larut dengan air hujan yang mengalir melalui sela-sela roda kendaraan. Menguap dan kemudian terhirup bersama asap rokok dan asap buangan kendaraan.

Kulihat dirinya dari bayang-bayang yang dihasilkan cahaya lampu jalan. dan bayangan diriku di arah sebaliknya. Kau dan aku bersama. Pernah sama.

Puntung-puntung rokok yang tak habis berserakan diantara pedal mobilku. di bungkusan rokokku, terisa tiga batang lagi. Ku hampir nyalakan batang selanjutnya, tapi kudengar Beberapa klakson memaki-maki dari arah belakang. Aku tak sadar, antrian didepan sudah habis seluruhnya.

 

Like A rolling Stone

Bandung menjadi kota tempat berkumpulnya cahaya. Sebuah perspektif yang seakan dibangun oleh pemerintah kota dengan menanam penerangan jalan umum berdempetan di jalanan dago malam hari. Tiap lampu jalan yang kulewati seakan menjadi deretan kilat yang tidak habis-habis. Aku jadi ingat film lama yang aku tonton kmarin sore. Bisakah bilas cahaya ini membasuh ingatanku? Kalau memang bisa, Rasanya kurang lebih akan seperti ini: Continue reading Like A rolling Stone